Saya tidak tahu kapan tepatnya perjalanan ini berubah menjadi cerita yang berlapis. Mungkin sejak saya menulis tentang hal-hal yang tidak bisa dibawa kembali. Tentang kehilangan yang perlahan saya terima tanpa harus memahaminya. Atau mungkin sejak saya menyadari bahwa dari setiap perjalanan, selalu ada yang tertinggal di dalam diri dan ikut terbawa tanpa saya sadari.
Dulu, saya pikir perjalanan hanya tentang langkah dan jarak. Tapi ternyata, setiap perjalanan punya caranya sendiri untuk menanamkan sesuatu. Dari gunung yang hening, saya belajar tentang diam. Dari kota yang bising, saya belajar mendengar dengan cara berbeda. Dari hari-hari yang berjalan terlalu cepat, saya belajar untuk memperlambat diri.
Saya pernah menulis bahwa kota terlalu ramai untuk didengar. Sekarang saya tahu, bukan kotanya yang terlalu keras, tapi saya yang dulu terlalu terburu-buru. Ingin menjawab semua hal, ingin memahami segalanya sekaligus. Padahal, ada kalanya hidup hanya perlu diterima, tanpa disusun menjadi makna yang sempurna.
Lalu saya sampai di titik antara pergi dan pulang. Tempat di mana langkah tidak lagi berlari, tapi juga belum berhenti. Di masa itu, saya belajar bahwa tidak semua hal harus diselesaikan. Beberapa cukup dibiarkan berjalan, sampai waktunya tiba dengan sendirinya. Di usia sekarang, saya mulai memahami bahwa ketenangan tidak datang dari kepastian, tapi dari kesediaan untuk hidup di tengah ketidakpastian itu sendiri.
Sekarang, setelah semuanya saya tulis, saya sadar bahwa perjalanan ini tidak pernah benar-benar berakhir. Ia hanya berubah bentuk. Kadang menjadi jarak, kadang menjadi diam, kadang hanya menjadi rasa yang datang saat malam mulai tenang. Dan di tengah semua perubahan itu, saya menemukan sesuatu yang tetap: jembatan itu masih ada.
Dulu saya merasa jembatan ini harus diseberangi. Bahwa ada sisi lain yang harus saya capai, tempat di mana semuanya akan terasa lebih tenang, lebih benar, lebih selesai. Tapi setelah semua perjalanan, saya mulai mengerti. Jembatan ini tidak selalu untuk dilewati. Kadang, ia hanya perlu dijaga.
Kini, jembatan ini menjadi tempat saya tinggal. Tempat di mana dua dunia bertemu. Dunia yang ramai dengan tuntutan, dan dunia yang tenang dengan kesunyian. Saya tidak lagi ingin memilih salah satunya. Karena keduanya sama pentingnya, sama benarnya, sama nyatanya. Saya hanya ingin menjaga agar keduanya tetap hidup di dalam diri saya.
Di sini, di tengah jembatan yang tidak harus diseberangi, saya belajar bahwa tidak semua langkah perlu meninggalkan jejak. Tidak semua perjalanan perlu sampai di ujung. Kadang, cukup dengan berdiri di tengah dan melihat ke dua arah, kita bisa memahami bahwa hidup memang diciptakan dengan ruang di antaranya. Ruang untuk berhenti, untuk menimbang, dan untuk mengingat siapa diri kita sebelum melangkah lagi.
Ada hari-hari ketika saya masih ingin pergi jauh, menepi, atau sekadar mencari udara yang berbeda. Tapi ada juga hari ketika saya cukup duduk di rumah, menatap langit sore, dan merasa itu sudah cukup. Mungkin itulah bentuk kedewasaan yang paling sederhana. Bukan tentang mencapai lebih banyak, tapi tentang tahu kapan sesuatu sudah cukup.
Saya selalu menulis agar tidak lupa, agar cerita-cerita itu bisa saya baca kembali nanti suatu saat nanti. Bahwa setiap hal kecil yang saya temui pernah membentuk siapa saya sekarang. Bahwa perjalanan ini bukan tentang gunung, kota, atau jarak. Tapi tentang cara saya menjaga ruang kecil di dalam diri agar tetap tenang, bahkan ketika dunia di luar terus berubah.
Jembatan itu masih ada. Tidak untuk diseberangi, tapi untuk diingat. Sebagai pengingat bahwa di antara dua dunia yang berbeda, selalu ada satu ruang kecil di tengahnya, tempat saya bisa berhenti sebentar dan mengingat siapa saya.
Saya tidak tahu apakah jembatan ini akan tetap sama di tahun-tahun mendatang. Tapi saya tahu, selama saya masih bisa berdiri di atasnya dengan hati yang tenang, saya tidak akan kehilangan arah. Karena mungkin memang di sinilah rumah itu berada, di antara yang pergi dan yang kembali.
Epilog